Perkenalanku
dengannya memang tidak sengaja, berawal dari chatting di BlackBerry Messenger.
Ternyata di luar dugaan ternyata kami sudah
pernah saling bertemu.
Dia adalah teman pacarku
waktu dulu. Saat perkenalan dulu, aku tidak terlalu memperhatikannya jadi aku tidak ingat wajahnya.
Cerita ini berawal
ketika
aku baru saja merantau ke kota yang
belum aku kenal, walau tak
begitu jauh dari kota asalku, tapi rasa sepi dan sendiri sangat aku rasakan.
Kehadirannya pun dapat mengusir rasa kesepianku tinggal di kota yang asing bagiku. Sangat beruntungnya aku karena dia
pun merantau di kota yang sama denganku.
Setelah
seringnya kami chatting, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu di suatu
tempat. Sesuatu yang ditunggu-tunggu pun tiba, sesosok lelaki bertubuh tinggi
besar,
berkulit sawo matang dan berpakaian rapi namun santai terlihat di hadapanku. Dia menghampiri ku. Awal yang baik, kami pun melanjutkan
pertemanan dengan saling
mengirimkan sms dan berhungungan melalui handphone.
“
Tiwi, hari ini kamu ada acara ga?” suara Tama di handphone
“Ngga
ada Tam, kenapa ?”
“Aku
ke kostan kamu ya .”
“Hah?
Emang kamu tau? Yaudah kalo mau mah sok aja.”
“Tenang,
kamu smsin aja alamat sama pake angkot apa aja kesananya.”
Terkejut dan tak percaya yang saat
itu aku rasakan.
Dia
yang baru merantau ke kota ini dan tak pernah tahu tentang daerah kostanku
sangat yakin untuk menemui aku
tanpa takut tersesat.
Sebenarnya aku khawatir,
maka dari itu aku meminta untuk menggugurkan niatnya menghampiriku
di kostan.
“Lebih
baik kita bertemu lagi di suatu tempat yang sama-sama kita ketahui. Agar tidak begitu merepotkan.” Pikirku.
Namun, dia tidak mau dan hanya meminta alamat kostan ku.
“
Nih tam alamat kostan ku : Gerlong Tengah 9 no 3. Pokoknya naek angkot kalapa-ledeng yang ke arah ledeng. Kalau
dari daerah kamu aku ga tau harus naik angkot apa dulu biar dapet angkot
kalapa-ledeng. Udah deh ga usah nekat !” begitu sms yang aku ketik untuknya.
“Siip,
tenang aja. Sampai ketemu Tiwi cantik.” Pipiku merah merona membaca smsnya.
Jam demi jam sudah berlalu dengan
cepat, aku sangat mencemaskan dia. Aku takut dia tersesat ke tempat yang sangat
jauh dari sini.
Aku
sangat takut tapi ada rasa kesal juga karena dia tetap nekat dan keras kepala padahal
sudah kuperingatkan tak
usah menghampiriku. Lalu aku coba menghubunginya untuk
menanyakan keadaannya.
Aku ingin tahu keberadaannya sekarang. Ternyata dia tidak jauh dari
kostanku.
Aku pun menjemputnya di dekat jalan
raya, karena lumayan jauh ke kostanku dan sulit untuk aku jelaskan
arah-arahnya. Saat bertemu, dia hanya cengengesan saja walau tampak dari
wajahnya dia sangat lelah, mungkin dia nyasar tadi pikir ku.
“ Alhamdulilah ya nyampe juga di
gerlong, ni namanya daerah gerlong.”
“Gile
jauh juga ya. Tapi hebatkan aku nyampe juga padahal belum pernah ke daerah
sini. Demi cinta apa sih yang ngga.”
“Hahahha,
bisa aja lu. Nyekil mulu !” tawa ku namun dengan muka merah karena malu.
Ini
kali keduanya aku membawa laki-laki ke kostanku selain abang aku. Kostan ku memang khusus
perempuan, tapi tidak dilarang untuk membawa teman lelaki kecuali untuk
menginap.
Kami
banyak berbincang-bincang tentang apapun, mulai dari waktu ospek, kuliah,
bahkan tentang teman-teman kami di Bogor. Ternyata banyak teman-temanku yang
dia kenal dan begitu juga
sebaliknya, banyak teman-teman dia yang juga aku kenal. Berbicara dengannya seperti sudah kenal lama, padahal masih baru berkenalan. Mungkin karena dari
kota yang sama, jadi obrolan kita pun nyambung.
Setelah
perjuangan Tama datang ke kostanku, kami jadi lebih dekat hingga akhirnya dia
mengutarakan perasaannya di telepon karena saat itu aku tidak bisa bertemu.
“Tiwi,
aku sayang sama kamu. Kamu mau ga jadi pacar aku?”
“Emh,
seriusan Tam? Ga kecepetan?” dengan gugup aku menjawab
“Kecepetan
apaan Tiw? Kan kita udah lumayan lama deket. Mau ga jadi pacar Tama?”
“Yaudah,
aku mau. Kita jalanin ya.”
“Yes,
makasi ya Tiw. Tama sayang Tiwi.” Suaranya riang terdengar
“Iya,
sama-sama. Sayang kamu juga.”
Setelah
adanya pernyataan yang dia
utarakan
itu, kami akhirnya
pacaran. Aku merasa nyaman dengan dia. Dia yang mengurangi kesedihanku jika aku sedang kangen dengan keluarga
di rumah. Dia yang membantu aku kalau ada kesulitan. Dia selalu menemaniku setiap aku
butuh dia.
Waktu terus berputar. Pagi
berganti malam dan seterusnya. Saat jalan dua bulan waktu pacaran
kami, mulai timbul
masalah yang membuat dia marah. Salah
satu seniorku sering sms aku.
Mungkin maksudnya adalah untuk mendekati aku, begitu kata teman-temanku.
Tama pun marah saat membaca sms dari senior ku. Mungkin dia cemburu pikirku,
wajar saja dia cemburu karena ada lelaki lain yang mencoba mencuri hati
pacarnya. Aku hanya bisa menenangkannya dan meyakinkannya kalau aku tidak
mempunyai perasaan suka ke senior aku itu.
Tiga bulan kemudian,
aku mulai resah dengan kelakuannya yang kurang sopan dan tak wajar menurutku.
Dia selalu mengambil hp ku tiba-tiba dan membaca semua sms-sms yang masuk.
Selain itu
selalu melarangku untuk melakukan
kegiatan
yang menurutku dia tak berhak untuk melarang-larangku seperti itu.
Setiap
hari dia sms aku dan aku harus membalas smsnya dengan cepat. Setiap aku bermain dengan teman-teman
dia selalu sibuk bertanya.
Misalnya menanyakan dengan siapa aku bermain, sedang berbuat apa, sedang
dimanakah aku, dan sering memberi nasihat untuk jangan terlalu lama dengan
teman-teman. Sangat muak aku dengan sikap dia yang seperti itu,
sampai emosi ku tak dapat tertahan.
“Kamu
maen ama siapa sih, ngapain, kemana?” tanya dia di sms
“Maen
sama temen-temen, ke BIP, maen aja.”
“Beneran?
Ga sama cowo lain? Jangan kesorean ya pulangnya.”
“Ih
apaan sih curigaan banget. Terserah deh mau percaya atau ngga!” emosiku meluap
tak dapat ditahan.
Akhirnya
kami pun bertengkar dan memutuskan untuk tidak berhubungan sementara waktu
untuk menenangkan diri. Tak lama dia menghubungiku dan meminta maaf atas
perkataannya di sms tadi dan berjanji untuk tidak seperti itu lagi.
Saat
hubungan kami menginjak empat
bulan, Tama memberi kejutan
padaku.
Dia datang ke kostanku sambil bawa cupcake
yang tertancapkan empat buah lilin kecil yang menandakan kami sudah empat bulan
menjalani hubungan. Terus
terang aku sangat terkejut dan sangat senang mendapatkan kejutan itu.
Tidak
lama dari hari jadi kami yang ke empat bulan, masalah pun datang bertubi-tubi. Tama selalu marah-marah tak jelas,
bilangnya cemburu. Tapi cemburu dengan
siapa?
Aku tidak melakukan suatu kesalahan. Dia mengeluarkan sifat yang sebelumnya
tidak pernah aku ketahui.
Mungkin
itu sifat aslinya yang dari pertama dia sembunyikan. Tempramental! Ya itulah
sifatnya yang membuatku sangat ketakutan.
Dia
terlalu overprotective.
Dia
bilang, itu karena
dia sayang aku. Tapi buat aku, itu tidak wajar dan sangat membuat aku tidak nyaman, terbebani, dan merasa tak
bebas. Hari-hari dulu yang kami jalani dengan penuh bahagia, semuanya sirna
karena kecemburuan atau ketidakpercayaannya dia terhadap diriku.
“Gimana
aku ga percaya sama kamu, kamu nya aja ga pernah ngeyakinin aku!” katanya
dengan penuh emosi.
“Ngebuktiin
gimana si Tam? Aku kan emang ga ngeboongin kamu atau ngelakuin macem-macemkan?
Orang lain sms-sms aku yaudah diemin aja toh aku ga nanggepin.”
“Tetep
aja lama-lama kamu juga bisa aja luluh tuh ama cowo-cowo itu. Ga tau diri
banget lagian tuh cowo-cowo. Kamunya juga ga tegas sih!”
“Tuh
kan, kamu ga percaya kan sama aku? Yaudahlah terserah, mau aku yakinin kamu
gimanapun kalau kamunya ga percaya aku ya percuma aja.” Jawabku sedikit
melemas.
“Kamunya
aja gamau usaha buat ngeyakinin aku, udahan ajalah. Cape sama kamu.”
Aku
terkejut mendengar dia bilang seperti
itu. Dia berani untuk memutuskan aku
hanya karena kecemburuannya
itu. Bahkan ia tidak melihat usahaku untuk tidak mengurusi laki-laki yang dianggap sebagai saingannya
itu. Tapi karena aku yang memang gengsian
dan memang tidak mau memohon-mohon pada lelaki. Aku hanya menjawab.“Oh yaudah kalau
mau udahan mah, udahan aja.”
Kami
pun terdiam, mungkin dia kaget karena jawaban ku sangan simple seperti itu, aku
tahu dia ingin mendapat respon lebih seperti aku minta dia untuk tidak
memutuskan aku, tapi itu tidak ada di kamus hidup ku. Tak lama dia membuka
pembicaraan.
“Maafin
aku ya Tiwi, tadi aku emosi banget. Iya aku berusaha buat percaya sama kamu dan
ga cemburuan lagi.”
“Yakin?”
jawab ku yang masih kesal.
“Iya
yakin, kita ga jadi udahan ya. Aku gamau putus. Aku sayang kamu.”
“Iya,
sayang kamu juga.”
Setelah
kejadian itu, aku jadi sedikit malas untuk berhubungan dengan Tama. Sms yang aku bales untuk dia pun
hanya seperlunya. Karena aku kesal, tidak sekali dia marah hanya gara-gara
cemburu dan tidak percaya padaku. Sampai-sampai dia sudah berani untuk meminta
putus.
Walaupun aku sedang marah
besar sekalipun, aku tak sampai berani memutuskan hubungan dengannya.
Lima
bulan sudah kami menjalani hubungan yang mulai tak harmonis ini, tidak ada lagi
perayaan yang membuat aku terkejut atau terkesan karena Tama. Hanya sebuah
ucapan “happy anniversary” yang terpampang di layar handphoneku yang merupakan sms dari Tama. Kami sudah
jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Smsan pun jadi hambar karena bingung untuk membahas apa.
Setelah
dua minggu kita tak bertemu, ada rasa kangen dalam diriku. Tapi tetap, sifat
cemburuan, ketidak percayaan, dan temprament dia tidak bisa aku lupakan.
Pertemuan kami pun sangat hambar, tidak ada lagi obrolan-obrolan yang hangat,
yang menciptakan tawa antara kita. Kami hanya berdiam dan mengobrol seperlunya
saja sampai dia memulai suatu pembicaraan.
“Tiwi,
kamu ngerasa ga kita beda sama yang dulu?”
“Ia,
ngerasa ko Tam. Udah diem-dieman gini, biasanya kalau ketemu rame.”
“Kamu
tetep ga suka sama sikap aku yang cemburuan sama temprament?”
“Iya,
ga suka. Kenapa? Kamu gamau usaha buat ngurangin itu?”
“Maaf
banget Tiw,
ga bisa. Itu emang sifat aku. Kita udah sama-sama beda, mending kita udahan aja
ya. Aku ga tega bikin kamu sakit hati terus. Aku juga ga tega sama aku sendiri
soalnya cape hati cemburuan mulu sama kamu.”
Aku
kaget mendengar dia tiba-tiba berkata seperti itu
“Emh,
yaudah kalau kamu maunya kayak gitu. Makasih buat semuanya ya Tam, maafin aku
suka bikin kamu marah.” Berat untuk mengucapkannya, tapi aku lega.
“Iya,
sama-sama Tiwi, makasih dan maaf juga aku marah-marah mulu sama kamu.”
Dia
pun pergi dari kostanku.
Aku
tidak tahu kapan kami akan bertemu dan berhubungan lagi karena kami berdua
memutuskan untuk tidak berhubungan sampai tidak tahu itu kapan. Agar tidak mengingat-ingat masa-masa
tentang kami dan agar tidak menyesali semua keputusan kami. Perasaan sedih
menjulur di hatiku, merasa kehilangan sosok yang baik, selalu menemaniku, sabar
menghadapiku, kini sudah menghilang dari kehidupanku. Tapi, rasa lega juga
menghampiri hatiku karena bisa terbebas dari semua perasaan kesal dan marah.
Setetes air mata pun mengalir dengan sendirinya dan tanpa sadar membasahi
pipiku. Bye Tama .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar