i'm in process to be success

i'm in process to be success

Selasa, 04 September 2012

Cemburu



Perkenalanku dengannya memang tidak sengaja, berawal dari chatting di BlackBerry Messenger. Ternyata di luar dugaan ternyata kami sudah pernah saling bertemu. Dia adalah teman pacarku waktu dulu. Saat perkenalan dulu, aku tidak terlalu memperhatikannya jadi aku tidak ingat wajahnya.
Cerita ini berawal ketika aku baru saja merantau ke kota yang belum aku kenal, walau tak begitu jauh dari kota asalku, tapi rasa sepi dan sendiri sangat aku rasakan. Kehadirannya pun dapat mengusir rasa kesepianku tinggal di kota yang asing bagiku. Sangat beruntungnya aku karena dia pun merantau di kota yang sama denganku.
Setelah seringnya kami chatting, akhirnya kami memutuskan untuk bertemu di suatu tempat. Sesuatu yang ditunggu-tunggu pun tiba, sesosok lelaki bertubuh tinggi besar, berkulit sawo matang dan berpakaian rapi namun santai terlihat di hadapanku. Dia  menghampiri ku. Awal yang baik, kami pun melanjutkan pertemanan dengan saling mengirimkan sms dan berhungungan melalui handphone.
“ Tiwi, hari ini kamu ada acara ga?” suara Tama di handphone
“Ngga ada Tam, kenapa ?”
“Aku ke kostan kamu ya .”
“Hah? Emang kamu tau? Yaudah kalo mau mah sok aja.”
“Tenang, kamu smsin aja alamat sama pake angkot apa aja kesananya.”
            Terkejut dan tak percaya yang saat itu aku rasakan. Dia yang baru merantau ke kota ini dan tak pernah tahu tentang daerah kostanku sangat yakin untuk menemui aku tanpa takut tersesat. Sebenarnya aku khawatir, maka dari itu aku meminta untuk menggugurkan niatnya menghampiriku di kostan. “Lebih baik kita bertemu lagi di suatu tempat yang sama-sama kita ketahui. Agar tidak begitu merepotkan.” Pikirku. Namun, dia tidak mau dan hanya meminta alamat kostan ku.
“ Nih tam alamat kostan ku : Gerlong Tengah 9 no 3. Pokoknya naek angkot kalapa-ledeng yang ke arah ledeng. Kalau dari daerah kamu aku ga tau harus naik angkot apa dulu biar dapet angkot kalapa-ledeng. Udah deh ga usah nekat !” begitu sms yang aku ketik untuknya.
“Siip, tenang aja. Sampai ketemu Tiwi cantik.” Pipiku merah merona membaca smsnya.
            Jam demi jam sudah berlalu dengan cepat, aku sangat mencemaskan dia. Aku takut dia tersesat ke tempat yang sangat jauh dari sini. Aku sangat takut tapi ada rasa kesal juga karena dia tetap nekat dan keras kepala padahal sudah kuperingatkan tak usah menghampiriku. Lalu aku coba menghubunginya untuk menanyakan keadaannya. Aku ingin tahu keberadaannya sekarang. Ternyata dia tidak jauh dari kostanku.
            Aku pun menjemputnya di dekat jalan raya, karena lumayan jauh ke kostanku dan sulit untuk aku jelaskan arah-arahnya. Saat bertemu, dia hanya cengengesan saja walau tampak dari wajahnya dia sangat lelah, mungkin dia nyasar tadi pikir ku.
            “ Alhamdulilah ya nyampe juga di gerlong, ni namanya daerah gerlong.”
“Gile jauh juga ya. Tapi hebatkan aku nyampe juga padahal belum pernah ke daerah sini. Demi cinta apa sih yang ngga.”
“Hahahha, bisa aja lu. Nyekil mulu !” tawa ku namun dengan muka merah karena malu.
Ini kali keduanya aku membawa laki-laki ke kostanku selain abang aku. Kostan ku memang khusus perempuan, tapi tidak dilarang untuk membawa teman lelaki kecuali untuk menginap.
Kami banyak berbincang-bincang tentang apapun, mulai dari waktu ospek, kuliah, bahkan tentang teman-teman kami di Bogor. Ternyata banyak teman-temanku yang dia kenal dan begitu juga sebaliknya, banyak teman-teman dia yang juga aku kenal. Berbicara dengannya seperti sudah kenal lama, padahal masih baru berkenalan. Mungkin karena dari kota yang sama, jadi obrolan kita pun nyambung.
Setelah perjuangan Tama datang ke kostanku, kami jadi lebih dekat hingga akhirnya dia mengutarakan perasaannya di telepon karena saat itu aku tidak bisa bertemu.
“Tiwi, aku sayang sama kamu. Kamu mau ga jadi pacar aku?”
“Emh, seriusan Tam? Ga kecepetan?” dengan gugup aku menjawab
“Kecepetan apaan Tiw? Kan kita udah lumayan lama deket. Mau ga jadi pacar Tama?”
“Yaudah, aku mau. Kita jalanin ya.”
“Yes, makasi ya Tiw. Tama sayang Tiwi.” Suaranya riang terdengar
“Iya, sama-sama. Sayang kamu juga.”
Setelah adanya pernyataan yang dia utarakan itu, kami akhirnya pacaran. Aku merasa nyaman dengan dia. Dia yang mengurangi kesedihanku jika aku sedang kangen dengan keluarga di rumah. Dia yang membantu aku kalau ada kesulitan. Dia selalu menemaniku setiap aku butuh dia.
Waktu terus berputar. Pagi berganti malam dan seterusnya. Saat jalan dua bulan waktu pacaran kami, mulai timbul masalah yang membuat dia marah. Salah satu seniorku sering sms aku. Mungkin maksudnya adalah untuk mendekati aku, begitu kata teman-temanku. Tama pun marah saat membaca sms dari senior ku. Mungkin dia cemburu pikirku, wajar saja dia cemburu karena ada lelaki lain yang mencoba mencuri hati pacarnya. Aku hanya bisa menenangkannya dan meyakinkannya kalau aku tidak mempunyai perasaan suka ke senior aku itu.
Tiga bulan kemudian, aku mulai resah dengan kelakuannya yang kurang sopan dan tak wajar menurutku. Dia selalu mengambil hp ku tiba-tiba dan membaca semua sms-sms yang masuk. Selain itu selalu melarangku untuk melakukan kegiatan yang menurutku dia tak berhak untuk melarang-larangku seperti itu.
Setiap hari dia sms aku dan aku harus membalas smsnya dengan cepat. Setiap aku bermain dengan teman-teman dia selalu sibuk bertanya. Misalnya menanyakan dengan siapa aku bermain, sedang berbuat apa, sedang dimanakah aku, dan sering memberi nasihat untuk jangan terlalu lama dengan teman-teman. Sangat muak aku dengan sikap dia yang seperti itu, sampai emosi ku tak dapat tertahan.
“Kamu maen ama siapa sih, ngapain, kemana?” tanya dia di sms
“Maen sama temen-temen, ke BIP, maen aja.”
“Beneran? Ga sama cowo lain? Jangan kesorean ya pulangnya.”
“Ih apaan sih curigaan banget. Terserah deh mau percaya atau ngga!” emosiku meluap tak dapat ditahan.
Akhirnya kami pun bertengkar dan memutuskan untuk tidak berhubungan sementara waktu untuk menenangkan diri. Tak lama dia menghubungiku dan meminta maaf atas perkataannya di sms tadi dan berjanji untuk tidak seperti itu lagi.
Saat hubungan kami menginjak empat bulan, Tama memberi kejutan padaku. Dia datang ke kostanku sambil bawa cupcake yang tertancapkan empat buah lilin kecil yang menandakan kami sudah empat bulan menjalani hubungan. Terus terang aku sangat terkejut dan sangat senang mendapatkan kejutan itu.
Tidak lama dari hari jadi kami yang ke empat bulan, masalah pun datang bertubi-tubi. Tama selalu marah-marah tak jelas, bilangnya cemburu. Tapi cemburu dengan siapa? Aku tidak melakukan suatu kesalahan. Dia mengeluarkan sifat yang sebelumnya tidak pernah aku ketahui. Mungkin itu sifat aslinya yang dari pertama dia sembunyikan. Tempramental! Ya  itulah sifatnya yang membuatku sangat ketakutan.
Dia terlalu overprotective. Dia bilang, itu karena dia sayang aku. Tapi buat aku, itu tidak wajar dan sangat membuat aku tidak nyaman, terbebani, dan merasa tak bebas. Hari-hari dulu yang kami jalani dengan penuh bahagia, semuanya sirna karena kecemburuan atau ketidakpercayaannya dia terhadap diriku.
“Gimana aku ga percaya sama kamu, kamu nya aja ga pernah ngeyakinin aku!” katanya dengan penuh emosi.
“Ngebuktiin gimana si Tam? Aku kan emang ga ngeboongin kamu atau ngelakuin macem-macemkan? Orang lain sms-sms aku yaudah diemin aja toh aku ga nanggepin.”
“Tetep aja lama-lama kamu juga bisa aja luluh tuh ama cowo-cowo itu. Ga tau diri banget lagian tuh cowo-cowo. Kamunya juga ga tegas sih!”
“Tuh kan, kamu ga percaya kan sama aku? Yaudahlah terserah, mau aku yakinin kamu gimanapun kalau kamunya ga percaya aku ya percuma aja.” Jawabku sedikit melemas.
“Kamunya aja gamau usaha buat ngeyakinin aku, udahan ajalah. Cape sama kamu.”
Aku terkejut mendengar dia bilang seperti itu. Dia berani untuk memutuskan aku hanya karena kecemburuannya itu. Bahkan ia tidak melihat usahaku untuk tidak mengurusi laki-laki yang dianggap sebagai saingannya itu. Tapi karena aku yang memang gengsian dan memang tidak mau memohon-mohon pada lelaki. Aku hanya menjawab.“Oh yaudah kalau mau udahan mah, udahan aja.”
Kami pun terdiam, mungkin dia kaget karena jawaban ku sangan simple seperti itu, aku tahu dia ingin mendapat respon lebih seperti aku minta dia untuk tidak memutuskan aku, tapi itu tidak ada di kamus hidup ku. Tak lama dia membuka pembicaraan.
“Maafin aku ya Tiwi, tadi aku emosi banget. Iya aku berusaha buat percaya sama kamu dan  ga cemburuan lagi.”
“Yakin?” jawab ku yang masih kesal.
“Iya yakin, kita ga jadi udahan ya. Aku gamau putus. Aku sayang kamu.”
“Iya, sayang kamu juga.”
Setelah kejadian itu, aku jadi sedikit malas untuk berhubungan dengan Tama. Sms yang aku bales untuk dia pun hanya seperlunya. Karena aku kesal, tidak sekali dia marah hanya gara-gara cemburu dan tidak percaya padaku. Sampai-sampai dia sudah berani untuk meminta putus. Walaupun aku sedang marah besar sekalipun, aku tak sampai berani memutuskan hubungan dengannya.
Lima bulan sudah kami menjalani hubungan yang mulai tak harmonis ini, tidak ada lagi perayaan yang membuat aku terkejut atau terkesan karena Tama. Hanya sebuah ucapan “happy anniversary” yang terpampang di layar handphoneku yang merupakan sms dari Tama. Kami sudah jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Smsan pun jadi hambar karena bingung untuk membahas apa.
Setelah dua minggu kita tak bertemu, ada rasa kangen dalam diriku. Tapi tetap, sifat cemburuan, ketidak percayaan, dan temprament dia tidak bisa aku lupakan. Pertemuan kami pun sangat hambar, tidak ada lagi obrolan-obrolan yang hangat, yang menciptakan tawa antara kita. Kami hanya berdiam dan mengobrol seperlunya saja sampai dia memulai suatu pembicaraan.
“Tiwi, kamu ngerasa ga kita beda sama yang dulu?”
“Ia, ngerasa ko Tam. Udah diem-dieman gini, biasanya kalau ketemu rame.”
“Kamu tetep ga suka sama sikap aku yang cemburuan sama temprament?”
“Iya, ga suka. Kenapa? Kamu gamau usaha buat ngurangin itu?”
“Maaf banget Tiw, ga bisa. Itu emang sifat aku. Kita udah sama-sama beda, mending kita udahan aja ya. Aku ga tega bikin kamu sakit hati terus. Aku juga ga tega sama aku sendiri soalnya cape hati cemburuan mulu sama kamu.”
Aku kaget mendengar dia tiba-tiba berkata seperti itu
“Emh, yaudah kalau kamu maunya kayak gitu. Makasih buat semuanya ya Tam, maafin aku suka bikin kamu marah.” Berat untuk mengucapkannya, tapi aku lega.
“Iya, sama-sama Tiwi, makasih dan maaf juga aku marah-marah mulu sama kamu.”
Dia pun pergi dari kostanku. Aku tidak tahu kapan kami akan bertemu dan berhubungan lagi karena kami berdua memutuskan untuk tidak berhubungan sampai tidak tahu itu kapan. Agar tidak mengingat-ingat masa-masa tentang kami dan agar tidak menyesali semua keputusan kami. Perasaan sedih menjulur di hatiku, merasa kehilangan sosok yang baik, selalu menemaniku, sabar menghadapiku, kini sudah menghilang dari kehidupanku. Tapi, rasa lega juga menghampiri hatiku karena bisa terbebas dari semua perasaan kesal dan marah. Setetes air mata pun mengalir dengan sendirinya dan tanpa sadar membasahi pipiku. Bye Tama .


Tidak ada komentar:

Posting Komentar